…. pada lembayung senja, ku titip rindu untuk cinta ku. Separuh jiwa, dan aliran darah ku di singgasana setia – a random feeling

Lembayung Senja, Sungai Leie, Ghent, Belgia
Satu sore di musim panas, tahun 2013 itu, aku merasa sangat lega. Aku sudah mempresentasikan hasil riset ku di konferensi internasional pertama ku di daratan Eropa ini. Bukan presentasi di depan para pakar di bidang riset ku itu yang membuat ku jantungan, tapi ndoro dosen ku yang duduk di depan sendiri melihat presentasiku.

Menyusuri Sungai Leie, Ghent, Belgium
Agenda setelah presentasi di salah satu hotel di Jantung kota Ghent sore itu adalah jalan-jalan sore naik perahu keliling kota Ghent, di Sungai Leie. Yey! hatiku bersorak. Masih ingat, beberapa tahun sebelumnya aku begitu terpesona dan terkesima melihat foto-foto seorang teman kuliah ku yang sedang jalan-jalan di Eropa, di atas perahu di sungai yang airnya jernih sekali, dengan latar belakang bangunan-bangunan gotic khas Eropa, yang diunggah di akun facebooknya.

Orang-orang di perahu sebelah
Saking tersihirnya dengan pesona foto-foto itu, saat itu, aku berdoa penuh harap dalam hati: Ya Allah, kapan ya aku bisa Ke Eropa? Mampukan aku untuk kesana Ya Allah, some day.
Rasanya, masih tak percaya sore itu akhirnya Gusti Allah yang Maha Pemurah mengabulkan do’a ku. Keinginan sederhana menyusuri sungai di Eropa. Memang, siapa yang bisa menghalangi kalau Dia berkehendak?

Perahunya ndak kelihatan
Kami, para peserta konferensi terbagi dalam beberapa perahu. Sial, ndoro dosen ku satu perahu dengan ku. Aku paling tersiksa ketika harus berbasa-basi di hadapan orang yang harus saya hormati. Sial juga, ndak ada yang memfoto diri ku dari perahu sebelah. Sehingga tak bisa mendapatkan foto diriku sedang naik perahu itu. Tapi, alhamdulilah, karenanya aku tak jadi pamer.

Arsitektur Bangunan di Kota Ghent
Aku begitu menikmati di atas perahu itu. Orang-orang masih saja mendiskusikan risetnya dengan orang-orang disebelahnya. Padahal, aku paling tidak suka membicarakan riset ku sendiri. Aku lebih menikmati arsitektur bangunan-bangunan di sepanjang aliran sungai yang membelah kota Ghent ini.

Bangunan di Sepanjang Sungai Leie, Ghent Belgium
Bangunan-bangunan itu terlihat begitu menyejarah, arsitekturnya begitu gothic. Yang dulu hanya saya lihat dari foto, kini dapat kusaksikan dengan mata telanjang ku. Seorang pemandu yang menyetir perahu itu, tak henti-hentinya menceritakan secara detail, setiap nama bangunan dan sejarah dari bangunan-bangunan itu.

Bangunan Tua Berbahasa Belanda
Dia terlihat begitu hafal dengan detail, mungkin karena sudah ribuan kali dia mengulang-mengulangnya. Tetapi aku tertarik dengan penjelasan pemandu itu. Saya pikir semua yang diucapkan itu bisa saya baca di wikipedia. Aku lebih asyik bermain dengan rasa ku, menikmati suasana sore itu. Aku lebih asyik berdiskusi dengan pikiran-pikiran ku sendiri.

Castle di Kota Ghent
Di pinggir sungai, orang-orang terlihat begitu menikmati hidup, menghabiskan sore dengan duduk-duduk di pinggir sungai. Ada yang sedang asyik berpacaran dengan pasanganya. Duduk sendirian sambil membaca buku. Ada juga yang sambil menikmati makan malam bersama keluarga.

Restoran di Pinggir Sungai
Sore yang panjang di musim panas itu memang waktu yang terasa tepat untuk melepas penat. Tak sedikit orang-orang yang terlihat sedang menikmati minum anggur merah di restoran-restoran di pinggir sungai itu.

Restoran Bata Merah
Ketika matahari hampir saja tenggelam sempurna di balik cakrawala, dan lembyung senja memamerkan kemegahan warna jingganya perahu kami perlahan menepi, bersandar di sudut kota yang lain. Mengakhiri perjalanan di atas perahu kami. Lalu, kami berjalan kaki menuju ke sebuah tempat yang sudah disiapkan untuk menikmati makan malam, hingga larut malam. Argh, rasanya ingin berlama-lama di atas perahu itu. Sayang malam segera menggulung siang.
Argh, bukan kah selalu begitu kenikmatan di alam fana ini? sekejap berlalu begitu saja. Seindah-seindahnya kenyataan hidup, pada hakekatnya hanyalah sekelibat bayangan yang menjadi sejumput tumpukan ingatan dalam memori otak di kepala kita. Tak ada bedanya dengan mimpi atau dongeng yang sudah berlalu, yang bisa kita ceritakan kembali sewaktu-waktu, sebelum tumpukan ingatan itu musnah begitu saja, saat kita sudah pikun di hari tua. Karenanya, teramat rugilah, mereka yang menjadikan dunia ini sebagai tujuanya. Kalau aku dan kamu pasti lebih memilih kampung akhirat, kampung keabadian, bukan?