Eh, cah angon, apa yang kau cari? – a random thought

Kerupuk Rambak Sapi
Biasanya, selepas ngontel, mengantar anak lanang ke sekolah, Saya langsung buru-buru setengah berlarian, jalan ke kampus. Pagi ini, entahlah tidak seperti biasanya, bukanya buru-buru ngampus, malah duduk leyeh-leyeh di sofa sendirian. Sejenak nikmati hidup lah, apalah yang sebenarnya kau kejar dalam hidup ini, bisik hati saya.
“Kriuk, kriuk, krak, krak”. Suara dari mulut saya memecah kesunyian pagi, bersaing dengan suara detak jarum jam dinding. Mulutku, mengunyah-ngunyah perlahan, sepotong demi sepotong, segenggam kerupuk rambak di tangan kanan saya. Lidahku seolah begitu khusuk mengecap setiap sudut kenikmatan kerupuk dari kulit sapi itu. Oh, Tuhan, nikmat sekali.
Mbak Didin, orang Indonesia yang sudah lama tinggal di kota sebelah, untuk kesekian kalinya, setiap pulang dari Indonesia, tak pernah lupa membawakan kami oleh-oleh yang hanya bisa didapatkan di Indonesia. Kerupuk rambak, daging bebek, rengginan, gatot, lan sapi nunggalane. Kebaikan Mbak Didin sekeluarga, sungguh layak untuk selalu dikenang. Rejeki Gusti Alloh, memang tidak selalu berwujud harta benda, tetapi juga berupa sahabat yang baik.
Sambil mulut saya terus tak mau berhenti mengunyah rambak, sekelibat bayangan-bayangan hadir menggoda di alam pikiran ku. Bayangan para pedagang asongan yang menawarkan kerupuk rambak di bus antar kota. Bayangan Pak Tua yang membawa sebuah kantong plastik raksasa, yang lebih besar dan tinggi begitu kontras dengan tubuhnya yang kering kerontang, berisi penuh dengan kerupuk rambak.
Menawarkan rambak itu dengan sabar kepada setiap penumpang kereta api ekonomi, dari ujung gerbong ke ujung gerbong yang lain. Dengan membagikan secara rata kerupuk itu ke setiap penumpang, lalu mengambilnya kembali jika penumpang itu kurang berkenan membelinya.
Ah, tetapi itu dulu, ketika kereta api ekonomi, masih benar-benar menjadi bagian dari denyut nadi ekonomi kerakyatan, ekonominya para rakyat jelata seperti diri saya di akar rumput. Sebelum, semuanya dikapitalisasi, kekyaan ditumpuk-tumpuk oleh golongan mereka-mereka saja.
Saya pendeliki sepotong kerupuk rambak terakhir itu sebelum akhirnya menyatu kedalam tubuh saya. Alam batin ku berbisik riuh rendah, oh betapa sepotong rambak dari sapi ini telah menghidupi banyak orang.
Sapi-sapi, alangkah bermanfaat nian hidup mu. Saat kamu masih hidup, kau abdikan dengan tulus seluruh tenaga mu, untuk membantu para petani membajak sawahnya. Susumu, kau relakan, diperas-peras oleh mereka. Bahkan teletong dan pipis mu pun, menjadi pupuk dan sumber energi biogas.
Saat kau korbankan tubuh mu dengan meregang nyawamu sendiri, setiap inchi dari bagian tubuh mu pun bermanfaat. Daging mu yang empuk, menjadi makanan yang enak-enak: bakso, rawon, rendang, steak. Daging yang menempel di tulang mu, dan buntut mu, menjadi masakan mahal: sup iga sapi dan sup buntut. Jeroan tubuh mu pun, menjadi olahan makanan yang lezat, lontong kikil.
Congor mu pun menjadi rujak cingur yang melegenda itu. Otak mu, Lidah mu pun menjadi makanan bercita rasa tinggi. Kulitmu pun menjadi makanan yang super lezat yang saat ini saya nikmati. Bahkan tulang mu pun menjadi bahan membuat barang-barang bernilai ekonomi tinggi.
Sapi-sapi, sekali kau hidup, betapa kamu telah menyebar banyak sekali arti. Bahkan kau tak sempat memikirkan arti buat dirimu sendiri, tetapi arti buat selain dirimu. Subhanallah, moho suci Pangeran yang telah menciptakan diri mu.
Tetapi, saat saya bandingkan dirimu dengan diriku, betapa saya sedih dan malu jadinya. Rasanya, belum sedikit pun, aku membuat arti buat orang orang-orang di sekitar saya. Jangankan memberi arti buat orang lain, saya pun masih sering berbuat yang tak memberi arti buat diriku sendiri.
Padahal, ketika kelak ku mati nanti, siapa sudi memperebutkan sisa tulang dan daging ku?Kecuali segerombolan belatung yang akan menghancurkanya. Oh, sapi-sapi, betapa kau telah mempermalukan diriku hari ini. Tuhan mampukan diriku menjadi lebih berarti!