…. hidup di belahan dunia mana pun, seseorang tak semestinya tercerabut dari akar budaya bangsanya sendiri. Sekaligus, tetap respek dan tidak merendahkan budaya tempatan. Bagai kembang-kembang setaman, fitrah perbedaan dalam pergaulan dengan sesama manusia, hanya akan menambah keindahan belaka – a random thought

Bocah-bocah Indonesia di Nottingham (Foto: Mas Peni)
Sabtu pagi, 30 April 2016. Udara di musim semi yang cerah rupanya masih saja terasa sangat dingin. Nyaris tak ada bedanya dengan musim dingin. Bahkan dua hari sebelumnya, saat berjalan kaki ke rumah dari kampus menjelang tengah malam. Tiba-tiba, aku diguyur hujan pasir es. Pletak-pletok, jutaan butiran-butiran berwarna putih bersih sebesar pasir itu jatuh dari langit, seolah ingin menjebol payung hitam yang melindungi ku malam itu.
Awalnya, ku kira butiran putik bunga-bunga yang berguruguran diterpa angin. Rupanya, hujan malam itu seketika memerangkap ku dalam suasana seperti malam white christmast yang sakral. Jalanan tiba-tiba mendadak menjadi putih, mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan pun, terbungkus selimut putih. Hanya saja bukan putih karena butiran salju yang lembut. Tapi butiran es putih yang kasar.
Hari ini, teman-teman pelajar Indonesia yang sedang belajar di Universitas Nottingham, mengadakan acara yang sudah menjadi agenda tahunan, namanya Indonesian Festifal (Indofest). Festival budaya Indonesia di negeri legenda Robin Hood. Rupanya, kuhitung aku sudah empat kali berada di pagelaran acara yang sama ini. Sudah lama ternyata saya merantau di kota ini. Mudah-mudahan kali ini yang terakhir.
Festival budaya Indonesia ini, selain sebagai ajang kumpul-kumpul tahunan masyarakat Indonesia di seluruh Britania Raya, sebenarnya memiliki misi memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia. Kepada orang Inggris, khususnya. Untuk menarik mereka datang ke Indonesia yang luar biasa keragaman budaya dan keindahan alamnya. Sayang sepertinya dari tahun ke tahun support pemerintah Indonesia, dalam hal ini KBRI London, semakin menurun. Jadinya, acara ini kesanya hanya ikhtiar maksimal teman-teman mahasiswa Indonesia di Universitas Nottingham sendiri, di tengah-tengah kesibukan kuliah mereka yang luar biasa padatnya. Mungkin pemerintah punya caranya sendiri.
Walaupun tahun ini tak banyak bule yang datang, rasanya bisa berkumpul sesama warga Indonesia di negeri perantauan itu nikmatnya luar biasa. Rasanya, semuanya seperti saudara dekat saja. Berkat beasiswa LPDP, semakin banyak anak-anak pribumi asli Indonesia, anak-anak tukang becak, anak-anak sedulur tani, yang bisa kuliah di Inggris, Eropa, Australia, US, dan belahan negara maju lainya. Tidak hanya ratusan, tapi ribuan. Tahun ini saja, di Inggris saja, dari satu jurusan saja di almamater saya, ITS, ada 6 orang yang saya tahu. Semoga kelak, ribuan anak-anak Indonesia ini bisa kembali menjadikan Indonesia jauh lebih baik. Tak hanya untuk kemajuan diri mereka sendiri, tetapi juga memanfaati orang-orang disekitarnya.

Tari Merak, Indofest 2016, Nottingham
Format Indofest tahun ini, tak jauh berbeda dengan acara sebelumnya. Ada turnamen berbagai cabang olah raga antar Persatuan Pelajar Indonesia (PII) di masing-masing kota di Inggris, dan di waktu yang sama ada Pagelaran budaya Indonesia. Aku sama sekali tak tertarik melihat turnamen olah raga, bukan saja karena kau tidak suka olah raga, tetapi setiap hari saya sudah melihat pertandingan olah raga di lapangan olah raga kampus.

Tari Pendet, Indofest 2016
Di Pagelaran budaya, ada pertunjukan tari-tarian, lomba permainan tradisional, dan festival masakan Indonesia. Acara dibuka dengan Tari Pendet. Penarinya mahasiswa Nottingham, seorang muslimah berjilbab hitam yang gerakan tarinya begitu gemulai. Buat muslim di Arab, mungkin ini sebuah pertunjukan yang aneh. Bahkan mungkin dilarang keras, diharamkan, dikafirkan, seorang muslimah menarikan tarian yang gerakanya mirip sembahyangnya orang Hindu.

Tari Jaipong, Indofest, Nottingham 2016
Tetapi, itulah indahnya Islam di Indonesia. Islam yang rahmah dan ramah dengan budaya lokal. Islam ‘isi’ yang tidak mudah terjebak dalam ‘bungkus’ satu budaya tempat Islam lahir saja. Menjadi muslim Indonesia yang bersarung dan berpeci, tak kalah mulianya dengan muslim Arab yang memakai jubah, baju panjang terusan, atau Muslim Pakistan yang memakai kulot kombor-kombor.

Anak Lanang Nyanyi Twinkle Little Stars
Setelah tari pendet sebagai pembuka, pagelaran budaya dilanjutkan dengan pertunjukan tari-tari daerah lainya, seperti tari Jaipong, yang penarinya lincah dan kenes sekali. Ada juga tari saman, tari tor-tor, tari merak, dan tari-tarian daerah lainya. Tak hanya tarian, persembahan lagu-lagu nasional dan daerah pun ada juga.

Tari Saman, Indofest 2016, Nottingham
Seperti tahun sebelumnya, pada Indofest kali ini, kelompok gamelan Nottingham juga unjug kebolehan. Gimana gitu ya rasanya, bangga sekaligus malu pada diri sendiri melihat bule-bule itu begitu menghayati saat menabuh perangkat gamelan itu, mamainkan nomor-nomor gending Jawa.

Gamelan Naga Lelana, Nottingham
Mereka terlihat begitu mencintai dan ahli dengan alat musik itu. Padahal, aku sendiri dan mungkin banyak anak-anak Indonesia, sebagai pewaris asli alat musik gamelan itu, malah tidak bisa memainkanya. Bahkan tidak paham filosofinya, lebih parah lagi merasa rendah diri dengan alat musik gamelan itu. Merasa ketinggalan jaman untuk ukuran anak-anak jaman sekarang.

Lomba Tarik Tambang
Di sela-sela pertunjukan tari, di bawah panggung, digelar lomba permainan tradisional. Ada tarik tambang dan balapan bakiak beregu yang dilombakan antar PPI se-Inggris dan juga antar anak-anak kecil yang ikut meramekan suasana dengan perlombaan balap kelereng dan memasukkan ballpoin dalam botol. Dan yang paling dicari adalah festival makanan asli Indonesia. Ada berbagai food stall di dekat panggung pertunjukan. Hampir semua masakan Indonesia yang terkenal ada disini. Dari aneka masakan padang, gudeg, sate, bakso, sampai dengan Es Cendol ada semua. Yang jual makanan mentah seperti kerupuk, tempe, bumbu-bumbu asli Indonesia juga banyak.

Penjual Es Cendol
Pertunjukan itu terus berlanjut hingga hari menjelang senja, jam 6 sore. Ditutup dengan pengumuman para pemenang turnamen olah raga. Tentu saja, aku sudah ngacir duluan beberapa jam sebelum acara penutupan. Sampai jumpa di festival indonesia berikutnya. Semoga tahun depan kami sudah bisa merayakan festival Indonesia yang sebenarnya, di tanah air Indonesia sendiri. Allahumma Ammiin.
Amiin!