… memang kalau kita mengucapkan natal, terus iman kita jadi luntur gitu ya? kenyatanya kan endak. –Yenny Wahid.
Hari ini 25 Desember 2014. Ada apa? Yah, tenunya hampir semua orang tahu kalau hari ini adalah hari Natal. Hari yang barangkali membawa kebahagiaan bagi jutaan umat manusia di seluruh dunia. Tapi, tentunya tidak bagi saya. Tidak ada yang istimewa, hari ini, buat saya hanyalah seperti hari-hari yang biasa. Di pagi hari pun, saya masih berangkat ke kampus. Meskipun, sebenarnya saya tahu hari ini kampus pasti sunyi sepi, nyaris tiada orang.
Untungnya, hari ini cuaca sangat cerah. Langit tidak kelabu seperti lumrahnya hari-hari di musim dingin ini, tetapi terlihat begitu biru bersih. Matahari pun terlihat tersenyum begitu sumringah. Tak terkecuali, kawanan burung-burung camar pun terlihat bersuka ria. Sehingga, saya pun cukup bergairah. Berjalan kaki ke kampus sambil menenteng kamera DSLR kesayangan ku ini, si teman perjalanan paling setia.
Keluar dari rumah, jalanan terlihat begitu sepi. Di kota ini, setiap natal, semua bus dan kereta api tidak beroperasi. Orang-orang pun sepertinya enggan keluar dari rumah. Saya berharap akan ada keramaian di depan dua gereja yang akan saya lewati dalam perjalanan saya dari rumah ke kampus.
Ternyata, dua gereja ini pun setali tiga uang. Yang ada hanyalah sunyi dan sepi. Tidak ada mobil satu pun yang terparkir di sekitar gereja. Apalagi yang namanya spanduk ucapan selamat natal dan tahun baru, juga tidak terlihat sama sekali. Saya jadi bertanya-tanya, jikalau di negara kami orang-orang beragama begitu ekspresif, kenapa di negeri ini mereka terlihat adem ayem?
Karena sepi, saya pun masuk ke dalam gerbang gereja yang selalu terbuka. Sekedar,untuk jeprat jepret mumpung cuacanya cerah. Setelah cukup lama jeprat jepret, ada dua orang jamaah yang masuk gereja. Satu perempuan muda berkulit hitam. Satu nya lagi seorang pemuda asia berkumis, yang berpakaian Salwar dan kameez yang biasa dipakai orang-orang Pakistan pada umumnya.
Kenapa gereja sepi, bahkan di hari natal pun? Yah, memang bukan rahasia lagi, jikalau sering semakin majunya sains orang-orang eropa banyak meninggalkan gereja. Agama tidak lagi tersimpan di gereja, tapi sudah menjelma menjadi nilai-nilai kebaikan dan kebajikan universal dalam kehidupan mereka sehari-sehari.
Setiba di lab., setelah buka email, selanjutnya buka facebook. Eyalah, ternyata masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Facebook masih penuh dengan bahasan pro kontra hukum mengucapkan selamat natal(dalam hati: hari gini? orang lain sudah bisa bikin teknologi ke planet Mars, kita masih ribut ….?).
Sekilas terjadi segregasi di antara teman-teman saya di facebook. Teman-teman yang afiliasinya PKS, HTI, Syalafi cenderung begitu keras mengharamkan. Sementara teman-teman dengan latar belakang NU cenderung ngece dengan ramai-ramai pasang status ucapan natal. Saya mung mbatin semoga saja kita semua semakin dewasa dalam beragama, bisa cerdas membedakan antara bungkus dan isi.
Hanya saja, melihat trend beberapa golongan yang semakin hari semakin getol memunculkan kembali isu-isu sensitif agama. Saya jadi suudzon jangan-jangan ada yang lagi-lagi, sengaja mencoba mengkerdilkan agama sebagai ideologi ‘politik’ sebagai alat untuk merebut kekuasaan. Padahal sebenarnya, saya teramat sangat yakin bahwasanya sejak jaman dahulu watak asli bangsa Indonesia itu ramah, toleran, dan sudah terbiasa hidup guyb rukun dalam perbedaan. Bhinika Tunggal Ika, yang terpampang nyata (weleh, kok jadi mbebek syahrini) di lambang negara kita itu.
Sebenarnya, kalau kita tidak malas membaca sejarah dan antropologi sosial (saya termasuk golongan yang malas itu). Natal tak lebih dari warisan tradisi budaya. Kumpul keluarga, kado natal, sinter klas, pohon natal sebenarnya tak jauh beda dengan perayaan tahun baru imlek yang juga ada tradisi pulang kampung, barongsai, dan angpao. Pun, tak jauh beda dengan tradisi Lebaran, ada mudik, ada ketupat, dan sebagainya.
Kalau kita lebih kritis lagi. Saat ini event-event agama dan budaya seperti ini sudah menjadi bagian dari strategi bisnis untuk memicu peningkatan penjualan dan ajang untuk mengeruk keuntungan. Buktinya, yang paling semangat menyambut event agama dan budaya ini ya siapa lagi kalau bukan pusat-pusat perbelanjaan.
Di city centre Nottingham misalnya, sejak awal November pusat kota ini sudah disetting suasana natal. Di old market square yang merupakan jantung pusat perbelanjaan disulap menjadi Christmas Wonderland.
Di dalamnya ada pohon natal besar, christmas market, arena mainan anak-anak, dan ice skating arena. Dan semuanya itu tentu saja tidak ada yang gratis, semua ada label harganya, Bero!
Tetapi ada juga yang gratis ding, yaitu sekedar menjadi penonton atau sekedar foto-foto. Outlet merek-merek terkenal pun berlomba-lomba menawarkan produk mereka yang seolah menjanjikan akan menjadikan natal tahun ini menjadi natal yang paling spesial. Merekamembuat claim, produk merekalah yang paling sempurna untukdijadikan sebagai kado natal paling spesial untuk orang paling spesial dalam hidup anda. Tak ketinggalan produk coklat, wine, dan outfit. BIG SALE sih katanya, tapi masih saja tidak terjangkau oleh kantong saya (nasib jadi orang miskin kota, hiks).
Toko online pun tak mau kalah bersaing. Iklan dan promo spesial natal marak menjubeli space website pemasang iklan dan email.
Saya pribadi, sebagai traveler penikmat suasana, selalu menyukai setiap suasana yang diciptakan. Jalan-jalan sambil mendengarkan tanpa tahu arti apalagi menghayati lonceng gereja, musik, dan lagu-lagu natal adalah sebuah kenikmatan tersendiri yang mungkin tidak semua orang bisa menikmatinya.
Melihat anak-anak bersuka ria bermain ice skating, menyaksikan warna-warni lampu penghias pohon natal, menyaksikan rusa di tengah kota adalah suasana khas yang memorable dan tak ternilai harganya buat saya. Entahlah, seolah di setiap suasana di setiap sudut kota itu ingin bercerita.
Saya yakin, sautu saat nanti ketika bulan desember di Indonesia,saya pasti merindukan suasana ini. Suasana khas setiap tempat yang tak bisa tergantikan dimanapun juga.
Jadi, natal buat setiap orang bisa memiliki arti yang berbeda. Tergantung, bagaimana kita memahaminya. Jika natal dan segala atributnya adalah ajaran agama, logikanya, jaman nabi Isa tidak mungkinlah ada yang namanya Pohon Cemara. Dan orang-orang eropa pun, mereka termat sadar Natal hanyalah tradisi budaya leluhur yang menurut mereka perlu dilestarikan.
Semoga kita tidak terjebak dalam semangat keberagamaan yang menggebu-gebu tanpa dibarengi pemahaman ilmu agama yang cukup. Alih-alih menebarkan rahmat untuk sekalian alam, yang timbul malah keresahan dan kegelisahaan. Pertanda bahwa nafsu lawwamah masih menyertai diri kita. Pesan Gus Dur, kunci untuk memahami spiritualitas, esensi ajaran agama, dan menggapai jiwa yang tenang (nafsul mutmainnah) adalah dengan senantiasa menjadi pribadi yang rendah hati, mau terus belajar, dan open minded.
Bener cak, trlalu ramai antara haram atau gak. Dan dtmbh ada beberapa mafia yg saya perhatikan, “memancing” keramaian.
Semua orng pnya alasan utk mnganggap itu haram atau gak, shrusnya dbuat adem aja
dan di indonesia justru sebaliknya.. .:) terpecah2…
biasa lek masih proses menjadi dewasa
Aku gak open minded sama orang yg nggak toleran kang. Walhasil aku unfollow semua temen fb yg mbahas pengharaman pengucapan natal haha
sadis Ndop 😀 hahaha
Huahahha.. Lha aku wedi ketularan soale hahaha…