….. diam-diam nurani saya pun mulai merindui mu, kau sosok-sosok penuh inspirasi yang memilih jalan hidup sederhana dan bersahaja bukan karena sebuah keniscayaan. Argh… kemana perginya guru-guru, dosen, kyai saya dahulu, teladan penuh kesederhanaan tapi penuh dengan sumber inspirasi, yang arif dan bijak dalam memaknai hidup dan kehidupan agar penuh dengan kebajikan. – a random feeling.
(Source: http://terompahmastor.blogspot.co.uk/)
“Berumah megah mermobil mewah, bergadget mahal, uang melimpah, pakaian glamour nan indah, makanan dan minuman yang serba lezat, rekreasi yang mahal serta memikat, terkenal dan populer, dielu-elukan dan penuh pujian” mungkin itulah ukuran kesuksesan manusia hidup saat ini yang selalu dicari oleh kebanyakan kita. Apalagi, siaran televisi, guru rakyat sejati, yang isinya tak lain tempat jualan dan menampilkan kemewahan hidup mengajarkan begitu. Artis Syahrini, mungkin saja simbol dari kesuksesan itu.
Lihat saja, apa yang kurang dari seorang syahrini. Cantik, terkenal, dan kaya raya. Seolah, seluruh atribut kesuksesan hidup melekat pada dirinya. Tak ayal, setiap gerak-geriknya selalu dipertontonkan tiap hari ke masyarakat. Parahnya, sosok-sosok seperti syahrini lah yang setiap saat selalu disuguhkan ke tengah-tengah masyarakat. Yang pada akhirnya, secara tidak sadar menjadi panutan masyarakat. Gaya hidup dan atribut hidupnya yang kemudian menjadi ukuran kualitas hidup masyarakat kebanyakan. Sebuah tontonan yang menjadi tuntunan, bukan?
Source: Instagram @Princessyahrini
Sementara itu orang-orang arif nan bijak, yang mengukur kualitas hidup tidak dari ukuran materi kebendaan tersingkirkan, jauh dari pemberitaan. Mereka yang memililiki standard kebajikan hidup dan memilih hidup sederhana dan bersahaja terguyur oleh ustad artis dadakan yang glamour dan urakan. Hanya kyai-kyai politisi yang muncul di permukaan, sementara para kyai akhirat tak pernah terdengar, tenggelam dalam jalan sunyi yang tak banyak orang cari dan lalui. Mereka yang seharusnya jadi suri teladan sulit dicari.
Apa akibatnya?mental masyarakat sakit. Bagaimana mungkin seseorang diukur dari merek baju, perhiasan, kendaraan, gadget yang dia pakai? Bagaimana mungkin seseorang merasa harga dirinya naik berlipat-lipat hanya karena merek sebuah barang? Itulah sebabnya, saya sering merasa tidak nyaman dengan acara reuni dan resepsi pernikahan. Acara yang sepatutnya jadi acara silaturahmi dan saling mendoakan itu sering kali jadi acara pamer kekayaan. Karena saya tidak punya kekayaan yang pantas dipamerkan, hahagh….
Kesederhanaan Gus Dur dan Gus Mus (source: Facebook)
Arghh… entah kenapa, sungguh, saya rindu sosok sederhana guru-guru SD dan SMP dahulu. Mereka yang rela mengayuh sepeda ontel berkilo-kilo meter untuk mengajar kami. Mereka yang rela berdesak-desakan dalam angkot dengan siswanya. Penampilanya sederhana nan bersahaja, tak satu pun tanda keglamoran menempel di badan mereka,selain baju safari sederhana warna biru, tapi mereka kaya inspirasi tentang kebajikan hidup. Yang membuat kami selalu Gugu (menurut) dan meniru (mencontoh). Saya rindu rumah sederhana kyai yang selalu terbuka dan membawa keteduhan, tempat kami setiap hari berdesak-desakan mengaji, ndelosor bersimpuh di lantai bahkan sampai di pekarangan rumah untuk mendengar petuah-petuah suci sang kyai. Saya rindu suara ‘klotak-klotak’ terompah, sandal jepit kayu, kyai yang selalu saya dengar menjelang sholat jamaah di masjid pondok. Yang selalu jadi rebutan para santri, untuk dibalik posisinya ketika kaki sang kyai sudah menapaki lantai masjid.
Tapi entah, masih adakah sosok-sosok mereka sekarang? Konon cerita, sejak adanya sertifikasi guru dan dosen, sekarang lapangan sekolah/kampus berubah jadi show room mobil baru. Konon, jadi guru dan dosen sekarang harus berpenampilan menarik. Harus nampak elegan dan meyakinkan di depan kelas. Jilbab sederhana pun, sekarang harus bergaya trendi dan berkelas. Konon cerita, sejak banyak politisi dan pengusaha kaya yang sowan ke pesantren, rumah kyai banyak yang berubah jadi ‘istana’ tapi sepi dari kegiatan mengaji. Hanya kuda besi mewah yang menjaga halaman rumah kyai.
Terompah usang sang kyai itu sekali lagi mengingatkan saya akan kesederhanaan dan kebersahajaan. Bolehlah kita kaya, tapi tak perlu diperlihatkan apalagi dipamerkan. Bolehlah kita bersenang-senang , tapi tak perlu berlebihan. Karena Pesta pasti berakhir kata Bang Haji Rhoma Irama. Karena di dunia mong mampir ngombe. Karena dunia bukanlah tujuan akhir, hanya persinggahan sementara untuk bercocok tanam kebaikan. Akhiratlah, tujuan sebenarnya. Akhiratlah, kehidupan sesungguhnya.
Tuhan, kirimkanlah kami pemimpin yang sederhana dan baik hati, seperti Pak Jokowi. Yang bisa menjadi teladan kami, untuk kemulyaan kami di dunia dan akhirat nanti !
seperti cak nun aja pak dhe 🙂 jok*wi ndingkluk terus ng “ibune” 😦
hehe.. iyo yo fi
mungkin iku strategi fi, saiki ndingkluk terus, entar kalo dah jadi presiden insha Allah ndak. kayak cerita Damarwulan dan Prabu Minak Djinggo hehe.
Cak Nun emang jempol!!
Thanks Fi 🙂
dan di negeri orang itu sampean jadi minoritas cak. luar biasa…. sukses terus.
luar biasa apa ne lek? 😀
Aamiin…
Iyo kang setuju, saiki madrasah sore wis ra enek peminate, kecuali ndik ndeso rodok jauh dari peradaban. Biyen jamanku jik SD, ngaji sore ning kyai wis dadi budaya. Nek gak ngaji, isin.
Jaman saiki wong tuo nyekolahne anake golek sing praktis, mbayar larang rapopo, malah justru iso digawe ajang “pamer”. “Kae anakku sekolah nih sekola favorit, espepene sak juta”. hhahaha
Padahal bocahe plonga plongo alip bak tak wae ra ngerti.. :))
haha…. nalar kalah dan keliru ya ndop 😀
urip ki sederhana wae penting bahagia 🙂
[…] Terompah Usang Sang Kyai […]